Kota

Apa yang diinginkan orang-orang itu? Berkelana riuh memenuhi jalan-jalan yang dingin, terlebih di musim ini. Dengan jas yang kusut dan raut muka yang melelahkan, mereka mengantri kereta. Seharian sudah mereka dihabisi rutinitas. Aku berada di balik jendela apartemen memerhatikan lampu-lampu kota.

Hidup harus begitu rupanya. Mereka diperbudak oleh logikanya sendiri. Tentu kau tak bisa hidup seperti kucing rumahan, yang baginya hanya ada tiga waktu berharga; tidur, makan dan main. Tidak. Biarlah hal itu dimiliki si kucing manja; mereka lebih jelita daripadamu. Mereka lebih banyak diam daripada mulutmu.

Sesampainya di rumah, adakah mereka berpasangan dan mendapatkan kecupan? Ah, kurasa hanya beberapa saja. Selebihnya bosan ingin berpisah. Kapan ia mati, kata hati perempuan itu pada lelakinya. Tapi toh ia tersenyum. Berbasa-basi bahwa harinya baik-baik saja.

Laki-laki juga kerap bosan dengan perempuannya, maka 3 jam sebelum jam tidur, ia akan pamit pada istrinya, keluar mencari angin malam. Ah, pecundang. Bilang saja ingin memangsa kupu-kupu di taman-taman ria. Bukankah lebih mudah bagi pria berkuasa? Mudah saja bagi mereka. Istrinya tak akan memeriksa bau di balik celananya. Ia terlalu gemuk, bahkan sekedar untuk membukakan pintu.

Aku, dengan segelas anggur yang memabukkan, melihat seorang lelaki dengan anjingnya berjalan-jalan di sepanjang pinggiran sungai. Aku tersenyum, bagiku itu manis. Adakah yang lebih manusiawi ketimbang seorang laki-laki di tengah cuaca dingin begini mengajak anjingnya berjalan-jalan? Semoga ia tidak menggumuli anjingnya ketika ia gila.

Di kota inilah aku tak menemui sisi-sisi terang. Segalanya memungkinkan. Aku sendiri bahkan gila. Seringkali aku tiba-tiba ingin mabuk seberat-beratnya, ingin melupakan masalah yang keji, atau sekedar ingin tidur lebih cepat. Bayanganmu sering muncul dan itu menyiksaku.

Seringkali aku menggerutu.

Aku punya cinta, sama sepertimu. Tapi tubuhku tak berbicara banyak tentang itu. Aku pergi ke taman-taman ria.

Tapi adakalanya segalanya usai. Ketika cuaca menyesap energiku dan energimu, yang ada hanyalah cuaca yang menjadikan embun itu es-es yang menggantung di dahan-dahan pohon, menumpuk di mobil-mobil kita. Dan pagi, akan berulang. Seperti usia. Segalanya dimulai lagi, cinta, kesedihan, menuangkan diri menjadi cerita, direkam jejak-jejaknya oleh kota ini.

Dan nanti, kita hanya akan tiada.

(Candrasangkala, 2016)

 

 

 

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.