Tuan

Tuan,

takdirku adalah menjadi budak buat mengelap sepatu Tuan yang tidak boleh usang. Setiap pagi sebelum Tuan pergi, Tuan tempatkan kaki Tuan di kedua pahaku yang kian berkulit tebal; kulitnya serasa lebih cepat tua dari kulit Tuan, sebab arteri-arteri di dalamnya sebegitu tertekan memangku kaki Tuan yang bangkot dan meruah.

Kaki Tuan bukan kaki yang langsing. Kaki Tuan lebih seperti kaki buaya yang lebar dan tebal. Bulu-bulu halus yang tumbuh di kaki Tuan seumpama ilalang yang penuh siap dipanen petani miskin. Lebat dan menebar bau lembab yang memuakkan. Aku tak akan menyebut kaki Tuan bau bangkai sebab dari Tuanlah aku mendapatkan makan. Dari makanan itu aku bisa memproses sari. Sari yang kemudian menjadi banyak hal.

Tapi Tuan, bagaimana ceritanya aku tiba-tiba terlahir sebagai budak Tuan?

Aku sebenarnya muak mengurus sepatu-sepatu Tuan. Mereka bukan sepatu yang biasa dan aku harus sangat berhati-hati mengelapnya agar tidak salah. Bukankah sepatu yang bagus menandakan status sosial yang bagus juga?

Tuan, alangkah lucunya. Bagaimana mungkin sepasang sepatu bisa menentukan derajat sosial kita? Bukankah seharusnya mereka yang berjalan tanpa alas punya status yang lebih mulia sebab mereka tak memberangus pohon-pohon demi itu semua? Bagaimana norma bisa diacak-acak seperti ini? Apakah Tuan mengerti?

Kulitku hitam legam dan bagiku tak ada rasa sesal dengan warna yang terberi. Aku mensyukuri segala gradasi, konsonan, suara dan bisu, sebab semua itu mesti terkenang, Tuan. Kita butuh sebuah identitas yang menyerap di segala penjuru, termasuk pada retina dan umbul-umbul. Kita haus sebuah nama.

Tapi mengapa aku harus patuh pada Tuan? Itu pertanyaan yang akan kufikirkan sepanjang hayat.

Kita harus kembali kepada buku-buku, mengapa aku menjadi budak Tuan. Katanya, orang-orang Mesopotamia yang pertama diketahui memperbudak manusia. Orang-orang Tigris dan Efrat menjadikannya hal biasa, menjual dan memakai orang-orang dengan derajat rendah, dengan kulit yang berbeda. Entah alasannya apa, sebab semua itu berlangsung cukup lama, Tuan. Kini aku lihat di televisi, orang-orang kita banyak dianiaya oleh orang-orang Arab. Apakah mereka tidak pernah sadar dan tahu diri, Tuan? Bagaimana mungkin setelah ada lampu, otak mereka masih terdiam di masa gelap ribuan tahun? Katanya, itulah mengapa agama banyak turun di gurun-gurun Arabia. Sejatinya aku terkekeh, sebab bila itu alasan Tuhan menurunkannya di sana, maka agama-agama, di usianya yang ribuan tahun, tak pernah menyentuh rerelung dengan kebijaksanaannya dalam hal itu. Mereka hanya sebatas paras, Tuan. Dipersolek oleh ahli-ahli kosmetik dan sastrawan. Malahan di kitab-kitab sucinya, masalah perbudakan seperti membawa ketaksaan makna. Ambigu. Dan itu semua masih kita baca.

“Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap Tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang”.

Lagipula, perbudakan memang sudah ada ribuan tahun. Tua sekali seperti bajingan yang lupa membersihkan diri. Bangsa-bangsa Romawi, Cina, Yunani, Babilonia pun pernah melakukannya. Perbudakan semacam itu juga dibawa oleh orang-orang Ottoman ke Eropa, dan dilanjutkan dengan perbudakan Atlantik, di mana orang-orang Afrika diangkut dengan kapal-kapal Spanyol dan diperjualbelikan di Eropa dan Amerika. Tuan, betapa bajingan semua itu. Ketika itu terjadi, apakah iblis yang merajai dunia?

Tapi aku juga kerap melupa; pun ternyata aku tunduk pada perbudakan-perbudakan modern, Tuan. Orang-orangku dipaksa bekerja di pabrik-pabrik orang Eropa, Jepang, Cina dan Amerika. Bilangnya sih kerjasama. Tapi Tuan pernah bertanya mengapa mereka pindahkan produksinya besar-besaran ke Asia? Tuan, sebab tenaga orang Asia itu seharga candala. Mana mau orang-orang mereka mengerjakan pekerjaan yang berat-berat seperti itu.

Tapi aku bukan seorang komunis, Tuan. Sebab sejarah tak bisa dilenyapkan; orang-orang komunis merasa dirinya merdeka dari perbudakan asing! Petingginya bahkan merasa selalu adil kepada rakytanya. Ternyata mereka sama saja; memperbudak dan diperbudak secara keji dengan membawa bendera dengan wajah Karl Marx, Lenin, Stalin yang besar. Mereka bilang, komunisme tidak salah, seperti halnya agama dan ideologi lainnya! Ada istilah lucu tentang orang-orang komunis; bila komunis hidup di padang pasir, maka mereka pada akhirnya hanya akan kehabisan pasir, Tuan. Lucu, ya?

Sekali lagi, katanya, ideologi tak salah, orang-orangnya lah yang salah. Tentu saja selalu ada pembenaran dari apa yang kita dan mereka yakini. Tanpa pembenaran, mana mau kita percaya?

Lalu dimana konsekuensinya ketika semuanya disalahgunakan? Neraka setelah mati? Tapi aku ingin semua itu selesai di bumi ini, Tuan. Bukan di tempat lain seperti nebula.

Tuan, adakah keadilan yang bisa Tuan pertentangkan di sini? Tapi adil itu apa, aku tak pernah tahu. Ujung-ujungnya kita sendiri jua yang harus bergerak mencari bentuk adil itu sendiri. Orang tidak bisa percaya karma begitu saja.

Lalu aku pun tenggelam pada sebuah akhir bahwa aku tidak bisa berhenti menjadi budak Tuan, sampai kita bisa memusnahkan waktu, massa dan fikiran. Sebab kita semua bertarung demi nafsu.

Kita bukan pengikut Jainisme yang rela mati kelaparan tanpa menyakiti. Itu sebuah jalan fikir yang sesat meskipun terdengar ksatria. Tuan, akupun sama jahatnya, aku banyak memperbudak banyak hal. Tapi tak akan kuceritakan sebab semuanya tabu dan rahasia. Sama halnya seperti orang-orang kapitalis yang enggan dibilang kolonialis modern.

Mungkin yang menjadi masalah adalah adanya perasaan iba dalam diri kita. Iba pada mereka, iba pada diri sendiri. Tahunya hidup ini serupa hutan hujan yang di dalamnya binatang-binatang hanya berfikir enak dan bisa hidup; maka tikus nasibnya dihabisi kucing liar. Kucing dililit ular. Ular dimangsa burung. Sedang burung ditembaki orang-orang kita demi kepuasan dan memiliki jiwa hebat.

Orang-orang itu diperbudak dan memperbudak, Tuan.

Lalu siapa yang menghabisi Tuan sendiri? Tuan mungkin berfikiran yang sama. Tuan diperbudak oleh nafsu berkuasa, dan itu lebih menyakitkan ketimbang membersihkan debu-debu kamar Tuan.

Tuan diselimuti rasa tak bersalah, dan sebenarnya itulah kenapa Tuan sengsara. Namun Tuan tak akan tahu itu, sebab prajurit Tuan tak akan terima Tuannya dihinadinakan seperti itu. Prajurit-prajurit Tuan hanya akan datang kepadaku, menebas leherku yang rapuh sebab aku ini tidak tahu diuntung.

Tapi aku terkekeh saja. Toh Tuan masih saja sosok yang bodoh, yang tidak tahu ia bodoh. Dan bagiku itu sudah karma Tuan sendiri.

-Candrasangkala-

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.